Selasa, 06 September 2011

PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG BUDIDAYA KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009
TENTANG
PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber dalam penyediaan devisa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa lahan gambut memiliki peran penting terhadap kelestarian lingkungan dalam kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit;
c. bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan;
d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk pengusahaan budidaya kelapa sawit di lahan gambut tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan, dipandang perlu menetapkan pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
2
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833);
13. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
14. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
15. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
16. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2005;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/2/2007;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;
19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;
3
Memerhatikan : Hasil Kajian Tim Konsorsium Penelitian Kesesuaian Ekologis Pada Lahan Gambut Untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Tahun 2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT.
Pasal 1
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Pasal 2
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan pemberian perizinan usaha perkebunan dengan memanfaatkan lahan gambut, dan sebagai acuan bagi pemangku kepentingan.
Pasal 3
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan pelaksanaan pengembangan budidaya kelapa sawit di lahan gambut, dan memberikan kepastian usaha budidaya kelapa sawit di lahan gambut.
Pasal 4
(1) Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memanfaatkan lahan gambut sebelum Peraturan ini ditetapkan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak lainnya berakhir.
(2) Perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan ini.
(3) Permohonan izin usaha atau pendaftaran usaha perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan gambut yang sedang dalam proses sejak peraturan ini ditetapkan belum diterbitkan IUP atau SPUP, harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan ini.
4
Pasal 5
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Pertanian ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 16 Pebruari 2009
MENTERI PERTANIAN,
TTD
ANTON APRIYANTONO
5
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian
Nomor :14/Permentan/PL.110/2/2009
Tanggal : 16 Pebruari 2009
PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1.1. Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan/atau perluasan lahan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan pertanian. Dalam peningkatan produktivitas dan/atau perluasan lahan masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain konversi, degradasi, ketersediaan sumber daya lahan, ancaman variabilitas, dan/atau perubahan iklim.
1.2. Salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas dan/atau perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan gambut.
1.3. Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% (enam puluh lima prosen) yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari atas sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi.
1.4. Pengusahaan budidaya kelapa sawit pada dasarnya dilakukan di lahan mineral. Oleh karena keterbatasan ketersediaan lahan, pengusahaan budidaya kelapa sawit dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu: (a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.
6
1.5. Lokasi lahan gambut tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama pada daerah-daerah pantai dan rendahan. Saat ini lahan gambut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengusahakan berbagai macam cabang usaha tani yang memang sesuai dengan karakteristik gambut, seperti tanaman nenas, kelapa, dan kelapa sawit.
1.6. Untuk memenuhi kriteria yang diperlukan dalam pengusahaan budidaya kelapa sawit di lahan gambut dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan, diperlukan adanya pedoman pemanfaatan lahan gambut sehingga lahan gambut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit sebagai upaya mewujudkan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan dengan tetap memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan, dengan tujuan:
2.1. mengembangkan budidaya kelapa sawit;
2.2. memelihara kelestarian fungsi lahan gambut; dan
2.3. meningkatkan produksi dan pendapatan produsen kelapa sawit.
3. Pengertian
3.1. Gambut adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% (enam puluh lima prosen) secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.
3.2. Karakteristik gambut adalah sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari atas sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen dibawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi.
3.3. Kawasan gambut adalah suatu wilayah ekosistem gambut, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, yang berfungsi sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya.
3.4. Kawasan budidaya gambut adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama untuk dibudidayakan di luar kubah gambut, lapisan sedimen berpirit, dan lapisan pasir kuarsa sesuai dengan potensi wilayah.
3.5. Lahan gambut adalah kawasan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
3.6. Lahan mineral adalah tanah yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan induk dengan ketebalan bahan organik kurang dari 50 (lima puluh) sentimeter dan kandungan C organik kurang dari 20% (dua puluh prosen).
7
3.7. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.
3.8. Substratum adalah lapisan tanah mineral di bawah gambut yang menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman.
4. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dari pengaturan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit meliputi, Kriteria Lahan Gambut, Pemanfaatan, dan Pembinaan dan Pengawasan.
II. KRITERIA LAHAN GAMBUT
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit yaitu kawasan gambut yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Berada pada kawasan budidaya
Kawasan budidaya dimaksud dapat berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit.
2. Ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit:
2.1 dalam bentuk hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter; dan
2.2 proporsi lahan dengan ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh prosen) dari luas areal yang diusahakan.
3. Lapisan tanah mineral di bawah gambut
Substratum menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman. Lapisan tersebut tidak boleh terdiri atas pasir kuarsa dan tanah sulfat masam.
3.1 Lapisan pasir kuarsa di bawah gambut merupakan lapisan mineral yang tidak tercampur dengan tanah liat dan terdiri atas pasir murni sehingga tidak layak untuk usaha budidaya.
3.2 Lapisan tanah sulfat masam merupakan lahan pasang surut yang tanahnya mempunyai lapisan pirit atau sulfidik berkadar lebih besar dari 2% (dua prosen) pada kedalaman kurang dari 50 (lima puluh) sentimeter di bawah permukaan tanah gambut. Pirit merupakan bahan mineral yang berasal dari endapan laut (marine) yang kaya akan besi dan sulfida dalam keadaan anaerob, dan kaya bahan organik.
8
Karakteristik tanah sulfat masam antara lain, yaitu:
Ciri Utama
Karakteristik
Lokasi
Kurang dari 5 (lima) meter di atas permukaan laut, umumnya pada sedimen marin, sering dijumpai di kawasan pasang surut.
Tanah
- Warna tanah asal abu-abu tetapi dengan cepat jika tersingkap berubah menjadi kehitaman.
- Ada bercak warna kuning pada tanah.
- Ada bau belerang jika tanah diangkat ke permukaan.
Vegetasi
- Ada vegetasi alami seperti purun dan mangrove, sedangkan tanaman lain pertumbuhannya tidak baik.
Air
- Ada warna karat pada air di saluran pembuangan
- Air sungai berwarna biru kehijauan
4. Tingkat kematangan gambut
Tingkat matang (saprik), setengah matang (hemik) dan mentah (fibrik).
4.1. Gambut matang (saprik) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15% (lima belas prosen).
4.2. Gambut setengah matang (hemik) yaitu gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan apabila diremas bahan seratnya 15% (lima belas prosen) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima prosen).
4.3. Gambut mentah (fibrik) yaitu gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan apabila diremas lebih dari 75% (tujuh puluh lima prosen) seratnya masih tersisa.
Gambut mentah dilarang untuk pengembangan budidaya kelapa sawit.
5. Tingkat kesuburan tanah
Tingkat kesuburan tanah dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit sebagai pengaruh luapan air sungai dan/atau pasang surut air laut.
III. PEMANFAATAN
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit oleh pelaku usaha perkebunan meliputi perencanaan, pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan konservasi.
9
1. Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi (pemetaan lahan), disain kebun, dan penyusunan rencana kerja tahunan. Inventarisasi dan identifikasi dilakukan oleh lembaga berkompeten melalui kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan yang mencakup pengumpulan data lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit sesuai kriteria yang ditetapkan dan digambarkan dalam bentuk peta dengan skala 1:50.000 atau sekurang-kurangnya 1:100.000. Berdasarkan peta tersebut selanjutnya digambarkan disain kebun yang akan dikelola termasuk sarana pendukungnya serta rencana kerja tahunan mulai dari pembukaan lahan, penanaman pemeliharaan dan konservasi.
Lembaga berkompeten yaitu lembaga yang telah mendapat akreditasi. Dalam hal lembaga berkompeten tersebut belum ada, maka akan ditunjuk lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perkebunan atas nama Menteri.
2. Pembukaan lahan
Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan menerapkan kaidah tata air (hidrologi) yang baik. Pengelolaan air secara khusus bertujuan untuk menghindari kerusakan lahan. Pengeringan lahan gambut yang terlalu intensif dan cepat dapat mengakibatkan tanah gambut mengering dan mengkerut tidak balik (irreversible shrinkage). Pada keadaan tersebut tanah gambut mudah terbakar dan sulit menyerap air. Tahapan pembukaan lahan gambut dilakukan sebagai berikut:
2.1. Pembangunan Saluran Batas
a. Pembangunan saluran keliling (periphere drain) sebagai saluran batas areal; dan
b. Saluran batas berfungsi untuk mengatur permukaan air tanah dan juga merupakan saluran utama. Saluran tersebut mempunyai lebar atas + 4 (empat) meter, lebar bawah + 3 (tiga) m dengan kedalaman 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) meter.
2.2. Pembukaan Lahan
Pembukaan lahan yang masih memiliki semak belukar dan/atau pohon kecil kecil (under brushing) dengan diameter kurang dari 2,5 cm dilakukan secara manual atau cara mekanis. Apabila pembukaan dilakukan secara mekanis, pemotongan kayu dilakukan menggunakan chainsaw, sebagai berikut:
a. arah penumbangan pohon mengikuti arah yang sudah ditentukan serta tidak melintang sungai dan jalan;
b. tinggi tunggul pohon yang ditumbang disesuaikan dengan diameter batang sebagai berikut:
- diameter 10 (sepuluh) sentimeter sampai dengan 20 (dua puluh) sentimeter, setinggi 40 (empat puluh) sentimeter;
- diameter 21 (dua puluh satu) sentimeter sampai dengan 30 (tiga puluh) sentimeter, setinggi 60 (enam puluh) sentimeter;
10
- diameter 31 (tiga puluh satu) sentimeter sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) sentimeter, setinggi 100 (seratus) sentimeter; atau
- diameter lebih dari 75 (tujuh puluh lima) sentimeter, setinggi 150 (seratus lima puluh) sentimeter.
c. cabang dan ranting yang relatif kecil dipotong dan dicincang (direncek), sedangkan batang dan cabang besar dipotong dalam ukuran 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) meter (diperun).
d. batang, cabang, dan ranting yang telah dipotong dikumpulkan mengikuti jalur rumpukan, yaitu pada selang 2 (dua) jalur tanam dengan arah sejajar dengan jalur tanam tersebut.
2.3. Pengaturan Drainase
Drainase terdiri dari saluran primer, sekunder dan tersier dengan ukuran saluran :
Lebar (m)
Jenis saluran
Atas
Bawah
Kedalaman (m)
Primer
3,0 – 6,0
1,2 – 1,8
1,8 – 2,5
Sekunder
1,8 – 2,5
0,6 – 0,9
1,2 – 1,8
Tersier
1,0 – 1,2
0,5 – 0,6
0,9 – 1,0
Saluran Primer
• saluran primer berfungsi mengalirkan air langsung ke daerah pembuangan akhir, antara lain, sungai dan/atau kanal; atau
• saluran primer dapat berupa sungai kecil alami yang dibersihkan atau berupa saluran baru; dan
• membangun benteng dan pintu air pada areal pasang surut.
Saluran Sekunder
a. Saluran sekunder bermuara ke saluran primer.
b. Saluran sekunder berfungsi menampung air dari saluran tersier dan juga sebagai batas blok.
c. Jarak antar saluran sekunder 400 (empat ratus) meter sampai dengan 500 (lima ratus) meter dengan panjang sesuai keadaan saluran.
Saluran Tersier
a. Saluran tersier bermuara ke saluran sekunder.
b. Saluran tersier berfungsi mengalirkan air ke seluruh sekunder dan menampung air dari areal tanaman.
c. Interval saluran tersier tergantung kondisi drainase di lapangan, maksimum satu saluran untuk dua baris tanaman.
11
Pembuatan saluran air dan pengelolaan tata air bertujuan untuk mengatur dan mempertahankan tinggi permukaan air tanah di areal pertanaman. Di tempat tertentu seperti pada pertemuan saluran primer dengan sungai, pertemuan saluran primer dengan sekunder perlu dibuat pintu air otomatis dan akan buka apabila permukaan air di areal pertanaman lebih tinggi, dan sebaliknya akan tutup apabila permukaan air di areal pertanaman lebih rendah. Pengaturan air pada saluran drainase disesuaikan dengan kedalaman permukaan air tanah di lapangan yang dipertahankan pada kedalaman 60 (enam puluh) sentimeter sampai dengan 80 (delapan puluh) sentimeter, untuk menjaga ketersediaan air dan menghindari lahan mudah terbakar.
2.4. Pembangunan jalan
• Pondasi jalan berasal dari tanah galian, sedangkan perataan dan pemadatan menggunakan alat berat.
• Pemadatan jalan dapat dilakukan dengan penyusunan batang kayu (gambangan) berdiameter 7 (tujuh) sentimeter sampai dengan 10 (sepuluh) sentimeter.
• Gambangan ditimbun dengan tanah mineral setebal 20 (dua puluh) sentimeter sampai dengan 30 (tiga puluh) sentimeter, kemudian diratakan dan dipadatkan.
• Alternatif teknologi pembangunan jalan di lahan gambut antara lain dengan teknologi geotekstil.
• Pembuatan jalan panen sebagai sarana angkutan buah dilakukan bersama dengan pemadatan jalur tanam.
• Alternatif lain untuk pengangkutan buah dari lapangan ke pabrik dengan membangun jaringan rel kereta mini (muntik).
2.5. Pemadatan Jalur Tanaman
• Pemadatan jalur tanaman diperlukan agar akar tanaman dapat menjangkar kuat di dalam tanah, sehingga mengurangi kecenderungan tumbuh miring atau rebah.
• Setiap jalur tanam dilakukan pemadatan dengan cara mekanis.
3. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan memerhatikan daya dukung dari lahan gambut. Apabila pengaturan tata air dilakukan dengan baik, kegiatan penanaman dapat mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. Kerapatan pohon kelapa sawit sebanyak 143 (seratus empat puluh tiga) pohon setiap hektar (jarak tanam 9 (sembilan) meter segitiga sama sisi) atau pada tingkat kerapatan lain sesuai dengan karakter panjang tajuk varietas kelapa sawit yang digunakan.
12
b. Jika jalur tanaman dipadatkan, kelapa sawit ditanam dengan ukuran lubang tanam 60 cm x 60 cm x 60 cm.
c. Jika jalur tidak dipadatkan, kelapa sawit ditanam dengan sistem lubang dalam lubang (hole in hole planting) dengan ukuran lubang luar 100 cm x 100 cm x 60 cm dan lubang dalam 60 cm x 60 cm x 60 cm. Alternatif lain untuk pemadatan dapat dilakukan dengan pembuatan lubang tanam menggunakan puncher.
d. Tunggul kayu yang terletak tepat di lubang tanaman dibongkar, jika tunggul tidak dapat dibongkar, lubang tanam dapat digeser searah dengan baris tanaman.
e. Pupuk dasar yang digunakan di lubang tanaman dapat berupa 20 g CuSO4, 20 g ZnSO4, 20 g FeSO4, 500 g RP, 250 g Kapur Pertanian (Kaptan) atau dolomit.
4. Pemeliharaan dan konservasi
Pemeliharaan dan konservasi dilakukan untuk mempertahankan permukaan air tanah pada kedalaman tertentu dari permukaan tanah sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan kelestarian fungsi lahan gambut.
Lapisan bahan gambut harus selalu berada di bawah permukaan air karena gambut mudah mengkerut. Atas dasar hal dimaksud secara umum permukaan air tanah harus dipertahankan pada kedalaman antara 60 (enam puluh) sentimeter sampai dengan 80 (delapan puluh) sentimeter dari permukaan tanah. Pengaturan kedalaman air juga bermanfaat untuk memperlambat pelapukan gambut sehingga mengurangi laju penurunan permukaan gambut sekaligus memberi zona aerob untuk perkembangan perakaran kelapa sawit. Untuk dapat mempertahankan muka air tersebut dan menghindari tidak teroksidasinya lapisan pirit (kedalaman air tanah tidak menjangkau lapisan pirit), maka saluran drainase harus selalu dipenuhi dengan air pada kedalaman yang diinginkan dari permukaan tanah.
IV. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
1. Pembinaan
Pembinaan dilakukan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bentuk pembinaan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. pendidikan dan pelatihan untuk pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan gambut;
b. penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengusahaan lahan gambut; dan/atau
c. bimbingan teknis, untuk peningkatan kesadaran dan partisipasi pelaku usaha perkebunan dalam rangka pengusahaan lahan gambut berkelanjutan.
13
2. Pengawasan
Pengawasan dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengawasan dilakukan, antara lain terhadap:
a. pengusahaan lahan gambut, untuk menghindari kerusakan fungsi lingkungan; dan
b. penanggulangan dampak dan pemulihan fungsi lingkungan hidup yang telah dilakukan berkaitan dengan kerusakan lahan gambut.
Apabila hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian pelaksanaan pengembangan dengan ketentuan yang berlaku, Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan peringatan secara tertulis kepada pelaku usaha perkebunan untuk menghentikan pelanggaran dan melakukan tindakan pencegahan dan/atau pemulihan.
Peringatan diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 3 (tiga) bulan. Apabila oleh pelaku usaha perkebunan tidak dipenuhi, gubernur atau bupati/walikota mencabut izin usahanya dan mengusulkan kepada Menteri untuk pencabutan HGU oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Menteri.
V. PENUTUP
Pedoman ini bersifat dinamis yang akan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
MENTERI PERTANIAN,

KARAKTERISTIK & ANALIS KOMPARATIF INVESTASI KELAPA SAWIT DI WILAYAH

Komoditi Kelapa Sawit
V - 1
5.1 Agroekologis Komoditi Kelapa Sawit
Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman
yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan
pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha tani. Khusus mengenai lingkungan tempat
tumbuh (agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu
tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka
pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui
persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang
mempunyai kondisi agroekologis/faktor tempat tumbuh yang relatif sesuai.
5.1.1. Persyaratan Tumbuh Komoditi Kelapa Sawit
Komoditas yang mempunyai nilai ekonomis dan potensial untuk dikembangkan salah satunya
adalah adalah kelapa sawit. Berikut ini disajikan peryaratan tumbuh dari tanaman kelapa sawit:
a. Tanah/lahan
· Tinggi tempat: tanaman sawit dapat tumbuh sampai ketinggian tempat >1000 meter di atas
permukaan laut (mdpl), tapi secara ekonomis diusahakan sampai dengan ketinggian 400 m dpl
· Topografi: kemiringan lereng 0-250
· Drainase: drainase harus baik, kondisi tanah tergenang akan menyebabkan kelapa sawit
kekurangan oksigen dan menghambat penyerapan unsur hara.
· Jenis tanah: kelapa sawit tumbuh pada tanah podsolik, latosol, hidromorf kelabu, Regosol,
Andosol dan tanah alluvial, bahkan pada tanah gambut pun dapat tumbuh dengan syarat
ketebalan gambut tidak lebih dari 1 meter.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 2
· Sifat fisik tanah: solum > 80 cm tanpa ada lapisan padas, tekstur lempung atau liat dengan
komposisi pasir 20 – 60 %, debu 10 – 40 %, liat 20 – 50 %. Konsistensi gembur sampai agak
teguh dengan permeabilitas sedang sampai baik. Permukaan air tanah berada di bawah 80 cm,
makin dalam makin baik.
· Sifat kimia tanah: sifat kimia tanah dapat dilihat dari tingkat keasaman dan komposisi hara
mineralnya. Sifat kimia tanah mempunyai arti penting dalam menentukan dosis pemupukan dan
kelas kesuburan tanah. Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang
istimewa sebab kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan. Tanah yang
mengandung unsur hara dalam jumlah besar sangat baik untuk pertumbuhan vegetatif dan
generatif tanaman, sedangkan keasaman tanah menentukan ketersediaan dan keseimbangan
unsur - unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4,0 – 6,5
sedangkan pH optimum 5 – 5,5. Tanah yang memiliki pH rendah dapat dinaikkan dengan
pengapuran tetapi membutuhkan biaya tinggi. Tanah yang memiliki pH rendah biasanya
dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut.
Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang
tinggi, dengan C/N mendekati 10 di mana C 1 % dan N 0,1 %. Daya tukar Mg dan K berada
pada batas normal, yaitu Mg 0,4 – 10 me/100 gram, sedangkan K 0,15 – 1,20 me/100 gram.
b. Iklim
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 120 Lintang
Utara – 120 Lintang Selatan. Secara alami, kelapa sawit tumbuh di tanah berawa di sepanjang
bantaran sungai dan di tempat sangat basah. Tanaman ini tidak dapat tumbuh karena terlalu lembab
dan tidak mendapat sinar matahari karena ternaungi kanopi tumbuhan yang lebih tinggi.
· Curah hujan: keadaan iklim baik (kelas 1) mensyaratkan curah hujan 2000-2500 mm/tahun
dengan distribusi merata. Tapi masih ditoleransi sampai dengan 1500 mm/tahun. Lebih besar
dari 2500 mm akan menstimulasi terjadinya erosi yang akan menurunkan kesuburan tanah,
sedangkan bulan kering yang signifikan akan mengakibatkan terjadinya defisit air dan dapat
menekan produksi.
Klasifikasi defisit air tahunan pada budidaya kelapa sawit dapat dilihat berikut ini:
Klasifikasi (mm) Keterangan
0 – 150 Optimum
150 – 250 Masih sesuai
250 – 350 Intermedier
350 – 400 Limit
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 3
400 – 500 Kritis
> 500 Tidak sesuai
· Temperatur: temperatur kelas 1 untuk sawit adalah 22 – 330 C
· Penyinaran matahari: sinar matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan
memacu pertumbuhan bunga dan buah. Untuk itu intensitas, kualitas dan lama penyinaran amat
berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5 – 7
jam per hari, rata-rata penyinaran 6 jam per hari, minimum 1600 jam per tahun dengan
intensitas di atas 60 %.
· Kelembaban dan angin: kelembaban udara optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah
80 %. Tanaman kelapa sawit tidak mudah dirusak angin karena bentuk daun yang sedemikian
rupa, kecepatan angin 5 - 6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan.
5.1.2. Sebaran Wilayah Agroekologis Kelapa Sawit
Secara umum persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit, yaitu pada zona dataran rendah beriklim
basah. Zona dataran rendah beriklim basah yang cocok untuk pengembangan tanaman kelapa sawit
mencapai luasan 44,12 juta ha menyebar di Sumatra, Kalimantan, Papua, Maluku, Jawa, dan
Sulawesi. Lahannya bervariasi mulai dari dataran pantai, gambut, volkan, dan karst. Topografinya
mulai dari datar, berombak, bergelombang sampai berbukit. Tanah terbentuk dari bahan alluvium,
batuan sedimen masam, batuan volkan, dan batu gamping, sehingga tanahnya bervariasi.
Di Sumatera zona dataran rendah beriklim basah mencapai luasan 15,65 juta ha menyebar dari
Provinsi NAD (Aceh Timur, Aceh Barat dan Sebulussalam), Sumatera Utara (Labuhan batu,
Asahan, Gunung Sitoli, Natal, Simalungun dan Langkat), Riau (Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir,
Kampar dan Riau Kepulauan), Jambi (Muara Bulian, Bangko, Muarabungo, Bungotebo), Sumatera
Barat (Lunang, Tiku, Pasaman, Sawahlunto Sijunjung dan Kepulauan Mentawai), Bengkulu
(memanjang dari Bengkulu Utara sampai Bengkulu Selatan), Sumatera Selatan (OKI, Muba, Muara
Enim, Lahat, dan Muara Dua) dan Lampung ( Sukadana, Kotabumi, dan Talang Padang)
Zona dataran rendah beriklim basah di pulau Kalimantan seluas 14,34 juta ha meliputi Kalimantan
Barat (Pontianak, Singkawang, Sanggau, Sambas, Mepawah dan Ketapang), Kalimantan Tengah
(Sebanggou, Kahayan, Kotawaringin Barat, Kota Waringin Timur, Barito Utara dan Kapuas),
Kalimantan Selatan (Kutai Barat, Kutai Timur, Pasir, Kutai Kartanegara, Bulungan, dan Berau).
Di Sulawesi seluas 2,83 juta ha meliputi Sulawesi Selatan ( Bone, Bulukumba dan Barru), Sulawesi
Tenggara (Kendari, dan Kolaka), dan Sulawesi Tengah (Poso memanjang dari Tomata hingga
Kolonedale). Di Kepulauan Maluku seluas 2,12 juta ha terdapat di pulau Seram dan pulau
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 4
Halmahera. Sedangkan di Papua seluas 5,57 juta ha meliputi Kimaam, dataran pantai Kasuari,
Marauke, Arso, Senggi, Yapen Maropen, Nabire, Manowari, dan Sorong. Sedangkan di pulau jawa
sendiri zona dataran rendah beriklim basah seluas 3,57 juta ha meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
5.2 Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Komoditi Kelapa Sawit
Potensi lahan untuk pengembangan perkebunan pada dasamya ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan
lingkungan yang mencakup: tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan iklim. Kecocokan
antara sifat-sifat fisik dengan persyaratan penggunaan suatu komoditas yang dievaluasi akan
memberikan gambaran atau informasi bahwa tahan tersebut potensial untuk pengembangan
komoditas tersebut. Hal tersebut juga memiliki pengertian bahwa jika lahan digunakan untuk
penggunaan tertentu dengan memberikan masukan (input) yang diperlukan maka akan memberikan
hasil (ouput) sesuai dengan yang diharapkan.
5.2.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), penilaian klasifikasi kesesuaian lahan
dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut:
Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergotong sesuai (S)
dan tidak sesuai (N).
Kelas : Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat sesuai (S1). cukup
sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3).
Lahan kelas sangat sesuai (S1) adalah lahan yang relatif tidak memiliki faktor pembatas yang
berarti/nyata terhadap penggunaannya secara berketanjutan. Lahan kelas cukup sesuai (S2) adalah
tahan mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktifitasnya, sehingga
memerlukan tambahan (input) untuk meningkatkan produktifitas pada tingkat yang optimum.
Lahan kelas sesuai marginal (S3) adalah lahan mempunyal faktor pembatas yang berat sehingga
berpengaruh terhadap produktifitasnya dan memerlukan input lebih besar dari pada lahan kelas S2.
Lahan kelas tidak sesuai (N) adalah lahan yang tidak sesuai karena memiliki faktor pembatas yang
berat. Lahan ketas ini dibedakan menjadi lahan kelas tidak sesuai sementara (N1), dan lahan kelas
tidak sesuai permanen (N2). Lahan kelas N1 mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tapi
sifatnya tidak permanen, sehingga dengan input pada tingkat tertentu masih dapat ditingkatkan
produktifitasnya. Sedangkan tahan kelas N2 mempunyai faktor pembatas sangat berat dan sifatnya
permanen sehingga tidak mungkin diperbaiki.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 5
Dalam evaluasi ini dikenal ’Kesesuatan Lahan Aktual’ dan ’Kesesuaian Lahan Potenslal'. Kesesuaian
Lahan Aktual (atau kesesuatan saat ini/saat survai dilakukan) adalah kelas kesesuaian lahan yang
dihasilkan berdasarkan data yang ada dan belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada. Sedangkan
Kesesuaian Lahan Potensial adalah keadaan lahan yang dicapai setelah adanya usaha-usaha
perbaikan (Improvement). Usaha perbaikan yang dilakukan haruslah sejalan dengan tingkat
penilaian kesesuaian lahan yang akan dilakukan.
5.2.2. Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan yang dimaksud adatah pedoman yang digunakan dalam
menentukan/mengevaluasi lahan yang disurvai bagi keperluan pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Dalam kegiatan ini digunakan pedoman/kriteria kesesuaian lahan menurut Pusat Penelitian
Tanah, 1993.
Berikut ini adalah uraian dari setiap faktor yang dapat mempengaruhi penilaian kesesuaian lahan di
lokasi:
· Iklim, unsur iklim terpenting adalah curah hujan.
· Hidrologi, unsur yang penting adalah ketersediaan air pengairan dan dampak keberadaan air
tanah terhadap kondisi drainase, serta bahaya banjir.
Masalah hidrologi di sebagian lokasi lebih berupa teknis pengaturan tata air/drainase yang
berdampak langsung terhadap proses pertumbuhan tanaman, khususnya di lahan-lahan yang
saat ini sering atau selalu tergenang.
· Kemiringan Lereng. Kemiringan lereng merupakan salah satu masalah serius di sebagian
lokasi. terutama pada areal dengan kemiringan lereng lebih dari 40 %. Faktor kemiringan lereng
lebih sebagai kendala dalam teknis pengelolaan kebun, seperti pengangkutan hasil atau panen,
Tanah dengan kemiringan lereng lebih dari 40 % juga beresiko besar mengalami erosi
permukaan cukup berat. Penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) sebaiknya tidak
terlambat dilaksanakan pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng di atas 15 %.
· Tanah. Retensi hara pada sebagian besar jenis tanah yang ada memberikan indikasi bahwa
pemupukan dengan dosis yang tepat merupakan kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi
tanaman. Beberapa jenis tanah juga memiliki karakteristik sangat buruk, seperti tanah Regosol
dan Podsol yang memiliki tekstur sangat kasar di seluruh lapisan.
Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas kelapa sawit Tabel 5.1.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 6
Tabel 5.1. Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kelapa Sawit
Kelas Kesesuaian Lahan
Kualitas Karakteristik
Lahan
S1 S2 S3 N1 N2
Temperatur (t)
Rata-rata tahunan (C0)
25 -28
>28-32
22< 25
Td
20<22
-
> 35
< 20
Ketersediaan Air: (w)
Bulan Kering (>75mm
Curah Hu|an (mn/th)
LGP (hari)
<2
2000-3000
300-330
2-3
1750-<2000
270-300
>3-4
1250-<1750
<270
Td
Td
Td
<270-
<1
>3000
<1250
<270-
Kondisi perakaran (r)
Kelas Drainase Tanah
Tekstur Tanah
Keadaan efektif (cm)
Gambut
Kematangan
Kedalamam (cm)
Sedang, Baik
LS.L..SCL, SiL,
Si, CL,SiCL.
>100
-
-
agak terhambat
LS,S, SiC, SC
75-100
Saprik
<100
Cepat, agak ,
terhambat
SiC.
51-75
Hemik
100-150
Sangat terhambat,
cepat
Td
Hemik-fibrik
>150-200
Sangat cepat,
Kerikil, pasir
<50
Fibrik
>200
Retensi Hara: (f)
KTK(me/100gr tanah
PH (H20)
C- organik
>-Sedang
5,0-6,0
Rendah
>6,0-7,0
4,5 – 5,0
Sgt rendah
>7,0 - 8,5
4,0-<4,5
>8,5
<3,5
Ketersediaan Hara: (n)
N-to1al (%)
P205 tersedia
K20 tersedia
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Sgt rendah
Sgt rendah
Sgt rendah
Toxicitas : x)
Salinitas (mmhos/cm
Kej. Alumunium (%)
Kedalaman Sulfidik (cm)
<2
>125
2-3
95-125
>3-4
80-95
4-6
70- <80
>6
<70
Medan (terain):
Lereng (%)
Batuan Permulaan (%)
Singkapan Batuan (%)
<8
>3
< 2
8-15
3-15
2-10
>15-45
>15-40
>10-25
>25-45
Td
25-40
>45
>40
> 40
Bahaya Erosi SR R S B SB
Banjir dan Genangan F1 F2 F3 F4 F5
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklilmat, 1993
Dep. Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, 1993/1994
Keterangan
Td = Tidak Berlaku
S = Pasir
L = Lempung
Si = Debu
Sir C = Liat berstruktur
5.3. Kesesuaian Agroekologis Tanaman Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil penelusuran pada peta Tata Ruang Pertanian yang diterbitkan Departemen
Pertanian tahun 2001 dan hasil analisis kesesuaian lahan, sehingga dapat ditentukan kesesuaian
lahan untuk tanaman kelapa sawit. Sehubungan data yang tersedia sangat terbatas dan peta yang ada
mempunyai sekala yang tinggi, maka kesesuaian agroekologis hanya sampai tingkat Ordo. Pada
Tabel 5.2. disajikan hasil evaluasi kesesuaian agroekologis tingkat ordo untuk tanaman kelapa sawit
dan untuk masing-masing wilayah pengembangan. Walaupun demikian tidak semua Kecamatan
bahkan Kabupaten yang diusulkan dapat diketahui zona agroekologisnya. Hal ini dikarenakan
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 7
adanya daerah pemekaran hususnya untuk tingkat kabupaten, sedangkan untuk tingkat Kecamatan
maupun Desa disebabkan peta skala 1 : 1.000.000 dianggap kurang detail. Dengan demikian
beberapa Kecamatan bahkan Kabupaten yang diusulkan tidak dapat dideteksi zona agroekologisnya.
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit
PROVINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
Luas Lahan
Tersedia (ha)
Zona
Agroekologis
Kelas
Kesesuaian
SUMATERA UTARA
1.TEBING TINGGI 2.380 1B1,1B3 S
2.NATAL 40.000 1B1 N
3.PADANG SIDEMPUAN 4.900 2B2 N
4.TANJUNG BALAI 3.100 1B1,1B3 S
5.TARUTUNG 11.200 2B2 N
6. SIMALUNGUN 4.386 1B3 S
RIAU
1.KAMPAR 1B2,1B3 S
a.Bangkinang 5.510 1B1, 1B3 N
b. Bangkinang Barat 1.103 1B1, 1B3 S
c.Koto Kampar 22.976 1B3 S
d.Siak Hulu 22.381 1B3 S
e.Tapung 28.093 1B3 S
f.Kampar Kiri 90.037 1B3 S
g.Tambang 1.923 1B3 S
h.Tapung Hulu 21.876 1B3 S
i.Tapung Hilir 6.940 1B3 S
j.Kampar Kiri 24.566 1B3 S
k.Kampar Kiri Hulu 22.054 1B3 S
2.ROKAN HILIR 50.000 1B3 S
a. Tanah Putih 1B3 S
b. Kubu 1B3 S
c. Sinembah 1B3 S
d.Rimba Melintang 1B3 S
e.Bangka 1B3 S
SUMATERA BARAT
1. AGAM 18.722 1B1,1B3 S
2.PASAMAN
70.955
1B1,1B2,
1B3,2B3
S
3.50 KOTA 15.491 1B1,1B3. 2B3 S
4.TANAH DATAR 14.701 2B1 S
5.PADANG PARIAMAN 61.245 1B1,1B2, 1B3 S
6. SOLOK 36.036 1B1,1B3,2B1 S
7.PESISIR SELATAN 43.753 1B1,1B3, S
8.SAWAHLUNTO 29.382 1B1,1B3 S
9. DHARMAS RAYA 1.500 ND -
JAMBI
1.BATANGHARI NR - -
2.MUARO JAMBI NR - -
3.BUNGO NR - -
4.TEBO NR - -
5.MERANGIN 58.011 ND -
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 8
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit
(lanjutan)
PROVINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
Luas Lahan
Tersedia (ha)
Zona
Agroekologis
Kelas
Kesesuaian
6.SOROLANGUN 50.977 1B3,2B2, 2B3 S
7.TJ.JABUNG B 110.284 1B3,2B2, 2B3 S
8.TJ.JABUNG T 40.000 1B3,2B2, 2B3 S
SUMATERA SELATAN
1.LAHAT
a. Kota Lahat 15.400 1B1,1B2,1B3 S
b. Kikim Timur 21.530 1B1,1B2,1B3 S
c. Kikim Selatan 3.500 1B1,1B2,1B3 S
d. Merapi 10.000 1B1,1B2,1B3 S
2. MUARA ENIM
a. Benakat 10.000 1B2,1B3 S
b.Gelumbang 9.160 1B2,1B3 S
c.Penukal Utara 27.371 1B2,1B3 S
d.Sungai Rotan 9.400 1B3,H1 S
e.Gunung Megang 13.615 1B2,1B3 S
f.Tanjung Agung 25.605 1B3 S
3.MUSI BANYUASIN
a. Sungai Lilin 443 1B1,1B2,1B3 S
b.Bt.Harileko 51 1B1,1B2,1B3 S
c.Babat Toman 111 1B2 -
d.Sekayu 5 1B1,1B3 S
e.Sungai Keruh 33 1B1,1B2,1B3 S
f.Keluang 206 1B1,1B2,1B3 S
g. Bayung Lencir 494 1B1,1B2,1B3 S
KALIMANTAN SELATAN
1.TABALONG 4.570 1B2,1B3,H1 S
2.BALANGAN 7.854 1B1,1B3 S
3.TABALONG &TAPIN 75.000 1B1,1B3 S
4.BARITO KUALA 21.137 1B1,1B3 S
5.TAPIN 6.626 1B1,1B3 S
6.TANAH LAUT
a.Kintap
b.Jorong,Kintap
4.300
19.170
1B2,1B3 S
7.TANAH BUMBU & LAUT 11.063 1B1,1B3 S
8.TANAH BUMBU 1B1,1B3 S
9. KOTA BARU
a.Pantai
b.Pudi
4.300
7.000
1B1,1B3 S
KALIMANTAN BARAT
1.BENGKAYANG
a. Capkala
20.000
1B3
S
2.LANDAK
a. Darit
b. Kuala Behe
10.000
10.000
1B1, 1B2, 1B3
S
3. SAMBAS 6.395,7 1B1, 1B2, 1B3 S
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 9
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit
(lanjutan)
PROVINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
Luas Lahan
Tersedia (ha)
Zona
Agroekologis
Kelas
Kesesuaian
KALIMANTAN TENGAH
Barito Selatan - 1B1, 1B3 S
Barito Utara - 1B2, 1B3 S
Barito Timur - 1B2, 1B3 S
Kapuas
- 1B3 S
Murung raya - 1B2, 1B3 S
KALIMANTAN TIMUR
KUKAR 432.671
a. Tenggarong 1.199 1B2, 1B3 S
b.Tenggarong Seberang 3.418 1B2,1B3 S
c. Loa Kulu - 1B2,1B3 S
d. Loa Janan 25.790 1B2,1B3 S
e.Muara Jawa 299 1B2,1B3 S
f. Samboja 18.830 1B2,1B3 S
g. Sanga-sanga 4.833 1B2,1B3 S
h.Anggana 2000 1B2,1B3 S
i. Muara badak 9.000 1B2,1B3 S
j. Marang Kayu 2.000 1B2,1B3 S
k. Muara Kaman 115.864 1B2,1B3 S
p. Kenohan 54.818 1B2,1B3 S
l. . Sebulu 140 1B2,1B3 S
m. Muara Wis 17.778 1B2,1B3 S
n. Kota Bangun 31.966 1B2,1B3 S
o. Muara Muntai 3.021 1B2,1B3 S
q. Kembang janggut 56.508 1B2,1B3 S
r. Tabang 85.202 1B2,1B3 S
SULAWESI SELATAN
LUWU UTARA
a. Masamba 27.818 ND -
b. Sabbang 16.280 ND -
c. Baebunta 10.000 ND -
d. Limbong 13.750 2B3 N
e. Seko 13.587 ND -
f. Rampi 18.750 ND -
g. Malangke 3.534 ND -
h. Malangke Barat 420 ND -
i. Mappedeceng 7.000 ND -
j. Sukamaju 10.653 ND -
k.Bone-bone 8.550 ND -
SULAWESI TENGGARA
1 KONAWE
a.Asera
b.Wiwirano
86.000 1B1,1B3, H1 S
2. KONAWE SELATAN
a.Angata
30.000 1B1,1B3, H1 S
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 10
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit
(lanjutan)
PROVINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
Luas Lahan
Tersedia (ha)
Zona
Agroekologis
Kelas
Kesesuaian
3.KOLAKA
a.Mowewe
b.Mowewe Selatan
8.163 1B1,1B3 S
4.BUTON
a. Rarowatu
b. Kabaena Timur
c. Kabaena
3.500
500
500
1K2,
N
PAPUA
1.YAPEN,WAROPEN 49.600 1B2,1B3, H1 S
2.NABIRE,MANOKWARI 70.000 1B3, H2 S
3. SORONG, FAKFAK 40.000 1B3, H1 S
4. MERAUKE >10.000 1K1 N
P. Komdum >10.000 1K1 N
MALUKU
KAB. HALMAHERA UTARA 1B1, 1B3 S
a. Morotai Utara 10.160 1B1, 1B3 S
b. Morotai Selatan 3.879 IB3 S
c. Loloda Utara 11.800 1B1, 1B3 S
d. Galela 15.178,5 IB3 S
e.Tobelo 12.392 1B1, 1B3 S
f. Kao 4.400 1B1, 1B3 S
g. Maliput 5.425 1B1, 1B3 S
Keterangan :
ND : nama tempat tidak ditemukan di peta
NR. : Lahan Kehutanan Tidak direkomendasikan untuk alih fungsi
S : Suitable (sesuai ) untuk pengembangan
N : Tidak sesuai untuk pengembangan
H : Peruntukan Hutan
(-) : Tidak dapat diinformasikan
1B3 : Sesuai untuk pengembangan kelapa sawit (termasuk karet dan kakao)
1K2 : Sesuai untuk pengembangan tebu
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hampir semua lahan yang teridentifikasi
masih belum digunakan potensial dan relatif sesuai untuk pengembangan kelapa sawit. Untuk
pengembangan lebih lajut perlu dilakukan pengkajian lebih detail sampai kesesuaian lahan tingkat
famili. Pada dasarnya zona lahan-lahan yang dapat dikelompokan sebagai lahan dataran rendah
beriklim basah merupakan lahan-lahan yang sesuai dan dapat dikembangkan untuk tanaman kelapa
sawit. Dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan tidak hanya melihat kesesuaian lahan saja
tetapi harus dilihat ketersediaan lahan. Sebagaimana diketahui dalam pengembangan suatu komoditi
perkebunan agar menguntungkan harus memenuhi batas minimal luasan yang ekonomis. Untuk
pengembangan kelapa sawit yang ekonomis adalah dengan luasan kebun 10.000 ha, yaitu setara
dengan pabrik pengolahan kelapa sawit kapasitas 60 ton/jam, namun demikian lahan kebun dengan
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 11
luasan minimal 6000 ha atau setara dengan kapasitas pabrik pengolahan kelapa sawit 30 ton per jam
masih memberikan keuntungan.
5.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Di Wilayah Indonesia
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam peningkatan dan pengembangan komoditi
kelapa sawit. Seperti misalnya prasarana transportasi jalan serta jaringan telekomunikasi. Di
Indonesia, masih banyak Provinsi yang belum begitu memadai kondisi prasarana transportasi
jalannya. Untuk peningkatan komoditi kelapa sawit terutama untuk skala menengah dan skala besar,
keberadaan jalan dengan fungsi dan kelas tertentu sangat diperlukan seperti misalnya jalan nasional
dengan fungsi arteri primer dan jalan Provinsi dengan fungsi kolektor primer. Pada Tabel 5.3. di
bawah ini memperlihatkan panjang jalan nasional dan jalan Provinsi di sebagian wilayah di
Indonesia.
Tabel 5.3. Rekapitulasi Jalan Nasional & Jalan Provinsi di Beberapa Wilayah di Indonesia
Tahun 2002
No. Provinsi
Jalan
Nasional
(Km)
Jalan
Provinsi
(Km)
Total Jalan
Nasional +
Jalan Provinsi
(Km)
Luas
Wilayah
(km2)
Rasio Panjang Jalan
Nasional + Provinsi
per Luas Wilayah
(Km/Km2)
1 NAD 2,511.26 2,024.19 4,535.45 51,937 0.09
2 Sumatera Utara 3,346.19 2,754.32 6,100.51 73,587 0.08
3 Sumatera Barat 1,428.81 1,472.94 2,901.75 42,899 0.07
4 Riau 1,709.54 1,607.35 3,316.89 94,560 0.04
5 Jambi 1,159.89 992.11 2,152.00 53,437 0.04
6 Bengkulu 1,366.63 921.61 2,288.24 19,789 0.12
7 Sumatera Selatan 2,661.71 2,716.38 5,378.09 93,083 0.06
8 Lampung 2,450.14 1,097.86 3,548.00 35,384 0.10
9 DKI -- 1,097.86 1,097.86 664 1.65
10 Jawa Barat 2,930.55 1,942.25 4,872.80 34,597 0.14
11 Jawa Tengah 2,589.61 2,580.06 5,169.67 32,549 0.16
12 DI Yogyakarta 624.45 638.54 1,262.99 3,186 0.40
13 Jawa Timur 3,731.80 2,000.83 5,732.63 47,922 0.12
14 Bali 846.89 674.83 1,521.72 5,633 0.27
15 Nusa Tenggara Barat 1,863.40 1,532.11 3,395.51 20,153 0.17
16 Nusa Tenggara Timur 3,151.75 3,254.42 6,406.17 47,351 0.14
17 Kallimantan Barat 2,036.92 1,885.24 3,922.16 146,807 0.03
18 Kalimantan Tengah 523.51 906.72 1,430.23 153,564 0.01
19 Kalimantan Timur 1,542.43 980.24 2,522.67 43,546 0.06
20 Kalimantan Selatan 954.23 745.96 1,700.19 230,277 0.01
21 Sulawesi Utara 938.09 916.66 1,854.75 15,273 0.12
22 Sulawesi Tengah 1,799.29 1,566.89 3,366.18 63,678 0.05
23 Sulawesi Selatan 1,884.84 1,559.55 3,444.39 62,365 0.06
24 Sulawesi Tenggara 1,489.07 1,178.58 2,667.65 38,140 0.07
25 Maluku 2,011.97 1,890.70 3,902.67 46,975 0.08
26 Maluku Utara 218.39 824.57 1,042.96 30,895 0.03
27 Irian Jaya 1,676.08 961.84 2,637.92 365,466 0.01
Sumber : Diolah dari Data Departemen Pekerjaan Umum dan BPS.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 12
Dari Tabel 5.3., dapat dilihat beberapa Provinsi di Indonesia yang terlihat menonjol keberadaan
jalan nasional dan jalan Provinsi dengan dibandingkan terhadap luasan wilayahnya. Provinsi-
Provinsi tersebut di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan,
seluruh Provinsi di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Untuk prasarana penunjang lainnya, yaitu telekomunikasi, pada umumnya di setiap wilayah
Indonesia sudah terdapat prasarana telekomunikasi. Hanya saja mungkin belum menjangkau
wilayah keseluruhan, terkecuali wilayah yang terdapat di Pulau Jawa yang hampir sudah terjangkau
semua wilayahnya oleh prasarana telekomunikasi. Untuk lebih jelasnya, seberapa jauh keberadaan
prasarana ini dapat dilihat pada Tabel 5.4. di bawah. Rasio sambungan telepon terhadap luas
wilayah dapat menunjukkan kerapatan pelayanan prasarana telekomunikasi di wilayah, sedangkan
rasio telepon terhadap penduduk menunjukkan tingkat pelayanan parasarana telekomunikasi
terhadap penduduk wilayah. Untuk kepentingan investasi rasio yang lebih dilihat adalah rasio
terhadap luas wilayah, tetapi paling tidak rasio terhadap jumlah penduduk juga dapat memberi
gambaran seberapa besar pelayanan eksisting dan tingkat kemajuan rata-rata wilayah.
Tabel 5.4. Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun
2001/2002
No. Provinsi
Telepon
(Satuan
Sambungan
Telepon)
Populasi
(ribu)
Luas
Wilayah
(km2)
Rasio
Sambungan
Telepon
terhadap
Jumlah
Penduduk
Rasio
Sambungan
Telepon
terhadap
Luas
Wilayah
1 NAD 88,740 4,240,000 51,937 0.02 1.71
2 Sumatera Utara 400,452 11,642,000 73,587 0.03 5.44
3 Sumatera Barat 142,255 4,249,000 42,899 0.03 3.32
4 Riau 204,794 5,596,000 94,560 0.04 2.17
5 Jambi 54,053 2,407,000 53,437 0.02 1.01
6 Bengkulu 28,800 1,525,000 19,789 0.02 1.46
7 Sumatera Selatan 124,940 6,522,000 93,083 0.02 1.34
8 Lampung 115,632 6,963,000 35,384 0.02 3.27
9 DKI 3,478,896 8,640,000 664 0.40 5,239.30
10 Jawa Barat 879,004 38,138,000 34,597 0.02 25.41
11 Jawa Tengah 770,234 32,175,000 32,549 0.02 23.66
12 DI Yogyakarta 127,957 3,211,000 3,186 0.04 40.16
13 Jawa Timur 1,829,803 36,270,000 47,922 0.05 38.18
14 Bali 218,664 3,363,000 5,633 0.07 38.82
15 Nusa Tenggara Barat 53,666 4,025,000 20,153 0.01 2.66
16 Nusa Tenggara Timur 24,832 4,094,000 47,351 0.01 0.52
17 Kallimantan Barat 99,298 3,969,000 146,807 0.03 0.68
18 Kalimantan Tengah 36,105 1,838,000 153,564 0.02 0.24
19 Kalimantan Timur 288,386 2,720,000 43,546 0.11 6.62
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 13
Tabel 5.4. Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun
2001/2002 (lanjutan)
No. Provinsi
Telepon
(Satuan
Sambungan
Telepon)
Populasi
(ribu)
Luas
Wilayah
(km2)
Rasio
Sambungan
Telepon
terhadap
Jumlah
Penduduk
Rasio
Sambungan
Telepon
terhadap
Luas
Wilayah
20 Kalimantan Selatan 103,198 3,188,000 230,277 0.03 0.45
21 Sulawesi Utara 64,017 2,136,000 15,273 0.03 4.19
22 Sulawesi Tengah 74,759 2,221,000 63,678 0.03 1.17
23 Sulawesi Selatan 244,515 8,253,000 62,365 0.03 3.92
24 Sulawesi Tenggara 33,370 1,887,000 38,140 0.02 0.87
25 Maluku 43,390 1,224,000 46,975 0.04 0.92
26 Maluku Utara 14,685 858,000 30,895 0.02 0.48
27 Irian Jaya 38,104 2,366,000 365,466 0.02 0.10
Sumber : Badan Pusat Statistik.
Dari Tabel 5.4., terlihat bahwa wilayah-wilayah yang menonjol keberadaan prasarana
telekomunikasinya terhadap luas wilayah selain wilayah-wilayah yang terdapat di Pulau Jawa adalah
Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Namun apabila dihubungkan antara
jumlah satuan sambungan telepon dengan jumlah penduduk, terlihat bahwa ketersediaan prasarana
telekomunikasi hampir merata di tiap Provinsi.
Dilihat dari ketersediaan sumber daya manusia, Tabel 5.4. juga menunjukkan bahwa ketersediaan
yang sangat signifikan terdapat di wilayah yang berada di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Bali dan
Sulawesi Selatan. Namun masalah sumber daya manusia pada wilayah lainnya dapat diatasi dengan
mendatangkan dari wilayah yang berlebih sumber dayanya, seperti misalnya dari wilayah di Pulau
Jawa.
Selain prasarana telekomunikasi dan prasarana jalan, faktor ketersediaan juga energi listrik juga
menjadi pertimbangan dalam usaha investasi pengembangan komoditi kelapa sawit. Berdasarkan
Statistik Indonesia tahun 2003, energi listrik yang didistribusikan oleh Perusahaan Listrik Negara
(PLN) dapat dilihat pada Tabel 5.5. di bawah ini.
Tabel 5.5. Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di
Indonesia
Wilayah PLN
Wilayah Provinsi
Distribusi Listrik
(MWH)
I Nanggroe Aceh Darussalam 479
II Sumatera Utara 3876
III Sumatera Barat, Riau 2671
IV
Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,
Lampung
3209
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 14
Tabel 5.5. Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di
Indonesia (lanjutan)
Wilayah PLN
Wilayah Provinsi
Distribusi Listrik
(MWH)
V Kalimantan Barat 738
VI Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur 2178
VII Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah 854
VIII Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara 1904
IX Maluku, Maluku Utara 219
X Papua 352
XI Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur 2220
Distribusi Jawa Timur 14640
Distribusi Jawa Tengah 10987
Distribusi Jawa Barat, Banten 25713
Distribusi Jakarta, Tangerang 19178
Distribusi Batam 661
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003.
Dari Tabel 5.5. menunjukkan bahwa distribusi listrik yang signifikan terdapat di Pulau Jawa.
Sedangkan untuk wilayah di luar Pulau Jawa, distribusi yang cukup besar adalah wilayah II
(Sumatera Utara), III (Sumatera Barat dan Riau), IV (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, Lampung), VI (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur), VIII
(Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) , dan XI (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur).
Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Barat juga mengkonsumsi listrik yang cukup signifikan.
Dari berbagai kekurangan dan kelebihan pada wilayah-wilayah seperti yang telah dijabarkan di atas,
maka pada sub bab berikut akan disajikan analisis investasi berkaitan dengan komoditi kelapa sawit
untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki nilai potensi investasi yang besar dengan
memberikan suatu penilaian komparatif pada tiap Provinsi di Indonesia.
5.5. Keunggulan Komperatif Komoditi Kelapa Sawit di Wilayah Pengembangan
Untuk melihat keunggulan komperatif di suatu wilayah digunakan analisis perbandingan keunggulan
masing-masing komoditas. Parameter yang digunakan adalah kesesuaian agroekologis wilayah
pengembangan tersebut, ketersediaan lahan untuk pengembangan, ketersediaan SDM di lokasi
pengembangan, dan ketersediaan infrastruktur di lokasi pengembangan. Masing-masing parameter
tersebut terdiri dari 5 tingkatan yaitu : (a) sangat rendah nilai 1, (b) rendah dengan nilai 2, (c)
sedang dengan nilai (3), (d) tinggi dengan nilai 4, dan (e) sangat tinggi dengan nilai 5.
Penilaian parameter untuk kesesuaian lahan bagi kelapa sawit berdasarkan kriteria seperti yang
tertera pada Tabel. 5.6.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 15
Tabel 5.6. Kriteria Penilaian Kesesuaian lahan:
Nilai Kriteria
1 Lahan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan
kawasan hutan
2 Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan
hutan
3 Lahan kurang sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan
kawasan hutan
4 Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan
kawasan hutan
5 Lahan sangat sesuai, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan
Penilaian ketersediaan lahan di wilayah pengembangan ditentukan oleh lahan yang tersedia untuk
pengembangan suatu komoditas. Kriteria penilaian ketersediaan lahan untuk masing-masing
komoditas bisa disimak pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Penilaian Ketersediaan Lahan
Nilai Luas Lahan yang Tersedia untuk
Pengembangan (ha)
1 < 3000
2 3001 – 5000
3 5001 – 8000
4 8001 -10000
5 >10000
Penilaian sarana prasarana didasari oleh tersedia tidaknya sarana jalan, sarana telekomunikasi dan
sarana listrik. Lebih rinci kriteria penilaian ketersediaan saran dan parasarana dapat dilihat pada
Tabel 5.8., sedangkan kriteria ketersediaan SDM dapat disimak pada Tabel 5.9.
Tabel 5.8. Kriteria Penilaian Sarana dan Prasarana
Nilai Kriteria
1 Tidak ada sarana transportasi, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada sumber listrik
2 Hanya terdapat sarana transportasi air, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada ada
sumber listrik
3 Hanya terdapat sarana transportasi darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber
listrik
4 Terdapat sarana tranportasi air dan darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber
listrik
5 Terdapat sarana transportasi air dan darat. Terdapat sarana telekomunikasi anumber listrik
Tabel 5.9. Kriteria Penilaian Ketersediaan SDM
Nilai Kriteria
1 SDM kurang dan jauh
2 SDM dapat terpenuhi dari kawasan sekitar (dekat lokasi)
3 SDM cukup tersedia di lokasi
4 SDM tersedia (non educative)
5 SDM tersedia (educative dan non educative)
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 16
Sehubungan ketersediaan lahan merupakan parameter yang paling penting dalam pengembangan
suatu komoditi, maka parameter ini dibri bobot 40 %. Adapun bobot untuk parameter kesesuaian
lahan adalah 30 % dan parameter ketersediaan sarana prasarana serta ketersediaan SDM diberi
bobot masing-masing 15 %. Nilai rata-rata tertinggi mempunyai makna mempunyai keunggulan
komperatif paling tinggi. Secara logis nilai rata-rata > 2.5 dapat diartikan bahwa komoditi tersebut
dapat dikembangkan dan mempunyai nilai komperatif. Analisis komperatif untuk komoditi kelapa
sawit dapat dilihat pada Lampiran 2.
Secara umum, pada ketersedian lahan lebih dari 5.000 ha tanaman kelapa sawit mempunyai nilai
komparatif yang tinggi untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan. Untuk lahan yang kurang dari
5.000 ha, lebih baik ditanami tanaman perkebunan lainnya. Kondisi demikian dapat difahami karena
dalam pembobotan ketersediaan lahan mempunyai nilai paling tinnggi yaitu 40 % dan untuk
pengembangan komoditas kelapa sawit memerlukan lahan yang ralatif luas (sebaiknya lebih dari
10.000 ha).
Pengembangan kelapa sawit mempunyai nilai kompreratif yang tinggi di kabupaten Natal dan
Tarutung Provinsi Sumatera Utara. Hampir semua wilayah yang diusulkan di daerah kabupaten
Kampar dan Kabupaten Rokan Hilir di Provinsi Riau merupakan daerah yang mempunyai nilai
komperatif tinggi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit. Kondisi demikian terjadi juga di
kabupaten-kabupaten pada Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Seperti halnya di
pulau Sumatera, di Kalimantan pun pada umumnya mempunyai nilai kompreratif yang tinggi untuk
tanaman kelapa sawit. Selain itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit di kawasan Timur
Indonesia yang mempunyai nilai komparatif tinggi, dapat dikembangkan di Sulawesi (Kabupaten
Luwu Utara, Konawe, Kolaka), Maluku (Kabupaten Halmahera Utara) dan Papua (Yapen,
Waropen, Nabire, Manokwari, Sorong, Fak-Fak).
Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran, diperoleh nilai rata-rata untuk masing-masing Provinsi
yang dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Rata-rata Nilai Komparatif Komoditi Kelapa Sawit di masing-masing Provinsi
Provinsi/Kabupaten/Kecamatan
Kesesuaian
Lahan
30 %
Ketersediaan
Lahan
40 %
Ketersediaan
SDM
15 %
Ketersediaan
Infrastruktur
15 %
Nilai
Komperatif
Sumatera Barat 4,56 4,56 3,22 2,56 4,06
Riau 5,00 4,08 3,08 2,08 3,91
Kalimantan Barat 5,00 4,00 2,25 2,25 3,78
Maluku 5,00 3,86 2,43 2,14 3,73
Kalimantan Selatan 4,80 3,60 3,00 2,50 3,71
Sumatera Utara 4,67 3,00 3,83 2,83 3,60
Kalimantan Timur 5,00 3,29 2,67 2,56 3,60
Jambi 2,88 5,00 2,65 2,13 3,58
Papua 3,20 5,00 1,40 1,80 3,44
Sumatera Selatan 4,82 2,94 2,59 2,00 3,31
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 17
Tabel 5.10. Rata-rata Nilai Komparatif Komoditi Kelapa Sawit di masing-masing Provinsi
Provinsi/Kabupaten/Kecamatan
Kesesuaian
Lahan
30 %
Ketersediaan
Lahan
40 %
Ketersediaan
SDM
15 %
Ketersediaan
Infrastruktur
15 %
Nilai
Komperatif
Sulawesi Selatan 2,91 3,91 2,00 2,09 3,05
Sulawesi Tenggara 2,83 3,00 2,83 2,17 2,80
Kalimantan Tengah 5,00 0,00 2,80 2,80 2,34
Menurut nilai komperatif kesesuaian lahan, tiga Provinsi teratas yaitu Provinsi Riau, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Tengah. Menurut nilai komperatif ketersediaan lahan, tiga Provinsi teratas
yaitu Provinsi Jambi, Papua, dan Sumatera Barat. Menurut nilai komperatif ketersediaan SDM, lima
Provinsi teratas yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Menurut nilai komperatif
ketersediaan infrastruktur, tiga Provinsi teratas yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan
Sumatera Barat.
Dilihat dari nilai rata-rata komperatif setiap Provinsi, maka Provinsi Sumatera Barat menempati
urutan teratas diikuti oleh Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, Jambi, Papua, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan
Kalimantan Tengah.
Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan
Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit