Selasa, 06 September 2011

PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG BUDIDAYA KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009
TENTANG
PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber dalam penyediaan devisa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa lahan gambut memiliki peran penting terhadap kelestarian lingkungan dalam kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit;
c. bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan;
d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk pengusahaan budidaya kelapa sawit di lahan gambut tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan, dipandang perlu menetapkan pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
2
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833);
13. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
14. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
15. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
16. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2005;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/2/2007;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;
19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;
3
Memerhatikan : Hasil Kajian Tim Konsorsium Penelitian Kesesuaian Ekologis Pada Lahan Gambut Untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Tahun 2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT.
Pasal 1
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Pasal 2
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan pemberian perizinan usaha perkebunan dengan memanfaatkan lahan gambut, dan sebagai acuan bagi pemangku kepentingan.
Pasal 3
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan pelaksanaan pengembangan budidaya kelapa sawit di lahan gambut, dan memberikan kepastian usaha budidaya kelapa sawit di lahan gambut.
Pasal 4
(1) Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memanfaatkan lahan gambut sebelum Peraturan ini ditetapkan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak lainnya berakhir.
(2) Perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan ini.
(3) Permohonan izin usaha atau pendaftaran usaha perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan gambut yang sedang dalam proses sejak peraturan ini ditetapkan belum diterbitkan IUP atau SPUP, harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan ini.
4
Pasal 5
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Pertanian ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 16 Pebruari 2009
MENTERI PERTANIAN,
TTD
ANTON APRIYANTONO
5
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian
Nomor :14/Permentan/PL.110/2/2009
Tanggal : 16 Pebruari 2009
PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1.1. Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan/atau perluasan lahan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan pertanian. Dalam peningkatan produktivitas dan/atau perluasan lahan masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain konversi, degradasi, ketersediaan sumber daya lahan, ancaman variabilitas, dan/atau perubahan iklim.
1.2. Salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas dan/atau perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan gambut.
1.3. Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% (enam puluh lima prosen) yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari atas sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi.
1.4. Pengusahaan budidaya kelapa sawit pada dasarnya dilakukan di lahan mineral. Oleh karena keterbatasan ketersediaan lahan, pengusahaan budidaya kelapa sawit dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu: (a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.
6
1.5. Lokasi lahan gambut tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama pada daerah-daerah pantai dan rendahan. Saat ini lahan gambut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengusahakan berbagai macam cabang usaha tani yang memang sesuai dengan karakteristik gambut, seperti tanaman nenas, kelapa, dan kelapa sawit.
1.6. Untuk memenuhi kriteria yang diperlukan dalam pengusahaan budidaya kelapa sawit di lahan gambut dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan, diperlukan adanya pedoman pemanfaatan lahan gambut sehingga lahan gambut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit sebagai upaya mewujudkan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan dengan tetap memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan, dengan tujuan:
2.1. mengembangkan budidaya kelapa sawit;
2.2. memelihara kelestarian fungsi lahan gambut; dan
2.3. meningkatkan produksi dan pendapatan produsen kelapa sawit.
3. Pengertian
3.1. Gambut adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% (enam puluh lima prosen) secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.
3.2. Karakteristik gambut adalah sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari atas sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen dibawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi.
3.3. Kawasan gambut adalah suatu wilayah ekosistem gambut, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, yang berfungsi sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya.
3.4. Kawasan budidaya gambut adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama untuk dibudidayakan di luar kubah gambut, lapisan sedimen berpirit, dan lapisan pasir kuarsa sesuai dengan potensi wilayah.
3.5. Lahan gambut adalah kawasan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
3.6. Lahan mineral adalah tanah yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan induk dengan ketebalan bahan organik kurang dari 50 (lima puluh) sentimeter dan kandungan C organik kurang dari 20% (dua puluh prosen).
7
3.7. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.
3.8. Substratum adalah lapisan tanah mineral di bawah gambut yang menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman.
4. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dari pengaturan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit meliputi, Kriteria Lahan Gambut, Pemanfaatan, dan Pembinaan dan Pengawasan.
II. KRITERIA LAHAN GAMBUT
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit yaitu kawasan gambut yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Berada pada kawasan budidaya
Kawasan budidaya dimaksud dapat berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit.
2. Ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit:
2.1 dalam bentuk hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter; dan
2.2 proporsi lahan dengan ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh prosen) dari luas areal yang diusahakan.
3. Lapisan tanah mineral di bawah gambut
Substratum menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman. Lapisan tersebut tidak boleh terdiri atas pasir kuarsa dan tanah sulfat masam.
3.1 Lapisan pasir kuarsa di bawah gambut merupakan lapisan mineral yang tidak tercampur dengan tanah liat dan terdiri atas pasir murni sehingga tidak layak untuk usaha budidaya.
3.2 Lapisan tanah sulfat masam merupakan lahan pasang surut yang tanahnya mempunyai lapisan pirit atau sulfidik berkadar lebih besar dari 2% (dua prosen) pada kedalaman kurang dari 50 (lima puluh) sentimeter di bawah permukaan tanah gambut. Pirit merupakan bahan mineral yang berasal dari endapan laut (marine) yang kaya akan besi dan sulfida dalam keadaan anaerob, dan kaya bahan organik.
8
Karakteristik tanah sulfat masam antara lain, yaitu:
Ciri Utama
Karakteristik
Lokasi
Kurang dari 5 (lima) meter di atas permukaan laut, umumnya pada sedimen marin, sering dijumpai di kawasan pasang surut.
Tanah
- Warna tanah asal abu-abu tetapi dengan cepat jika tersingkap berubah menjadi kehitaman.
- Ada bercak warna kuning pada tanah.
- Ada bau belerang jika tanah diangkat ke permukaan.
Vegetasi
- Ada vegetasi alami seperti purun dan mangrove, sedangkan tanaman lain pertumbuhannya tidak baik.
Air
- Ada warna karat pada air di saluran pembuangan
- Air sungai berwarna biru kehijauan
4. Tingkat kematangan gambut
Tingkat matang (saprik), setengah matang (hemik) dan mentah (fibrik).
4.1. Gambut matang (saprik) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15% (lima belas prosen).
4.2. Gambut setengah matang (hemik) yaitu gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan apabila diremas bahan seratnya 15% (lima belas prosen) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima prosen).
4.3. Gambut mentah (fibrik) yaitu gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan apabila diremas lebih dari 75% (tujuh puluh lima prosen) seratnya masih tersisa.
Gambut mentah dilarang untuk pengembangan budidaya kelapa sawit.
5. Tingkat kesuburan tanah
Tingkat kesuburan tanah dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit sebagai pengaruh luapan air sungai dan/atau pasang surut air laut.
III. PEMANFAATAN
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit oleh pelaku usaha perkebunan meliputi perencanaan, pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan konservasi.
9
1. Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi (pemetaan lahan), disain kebun, dan penyusunan rencana kerja tahunan. Inventarisasi dan identifikasi dilakukan oleh lembaga berkompeten melalui kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan yang mencakup pengumpulan data lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit sesuai kriteria yang ditetapkan dan digambarkan dalam bentuk peta dengan skala 1:50.000 atau sekurang-kurangnya 1:100.000. Berdasarkan peta tersebut selanjutnya digambarkan disain kebun yang akan dikelola termasuk sarana pendukungnya serta rencana kerja tahunan mulai dari pembukaan lahan, penanaman pemeliharaan dan konservasi.
Lembaga berkompeten yaitu lembaga yang telah mendapat akreditasi. Dalam hal lembaga berkompeten tersebut belum ada, maka akan ditunjuk lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perkebunan atas nama Menteri.
2. Pembukaan lahan
Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan menerapkan kaidah tata air (hidrologi) yang baik. Pengelolaan air secara khusus bertujuan untuk menghindari kerusakan lahan. Pengeringan lahan gambut yang terlalu intensif dan cepat dapat mengakibatkan tanah gambut mengering dan mengkerut tidak balik (irreversible shrinkage). Pada keadaan tersebut tanah gambut mudah terbakar dan sulit menyerap air. Tahapan pembukaan lahan gambut dilakukan sebagai berikut:
2.1. Pembangunan Saluran Batas
a. Pembangunan saluran keliling (periphere drain) sebagai saluran batas areal; dan
b. Saluran batas berfungsi untuk mengatur permukaan air tanah dan juga merupakan saluran utama. Saluran tersebut mempunyai lebar atas + 4 (empat) meter, lebar bawah + 3 (tiga) m dengan kedalaman 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) meter.
2.2. Pembukaan Lahan
Pembukaan lahan yang masih memiliki semak belukar dan/atau pohon kecil kecil (under brushing) dengan diameter kurang dari 2,5 cm dilakukan secara manual atau cara mekanis. Apabila pembukaan dilakukan secara mekanis, pemotongan kayu dilakukan menggunakan chainsaw, sebagai berikut:
a. arah penumbangan pohon mengikuti arah yang sudah ditentukan serta tidak melintang sungai dan jalan;
b. tinggi tunggul pohon yang ditumbang disesuaikan dengan diameter batang sebagai berikut:
- diameter 10 (sepuluh) sentimeter sampai dengan 20 (dua puluh) sentimeter, setinggi 40 (empat puluh) sentimeter;
- diameter 21 (dua puluh satu) sentimeter sampai dengan 30 (tiga puluh) sentimeter, setinggi 60 (enam puluh) sentimeter;
10
- diameter 31 (tiga puluh satu) sentimeter sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) sentimeter, setinggi 100 (seratus) sentimeter; atau
- diameter lebih dari 75 (tujuh puluh lima) sentimeter, setinggi 150 (seratus lima puluh) sentimeter.
c. cabang dan ranting yang relatif kecil dipotong dan dicincang (direncek), sedangkan batang dan cabang besar dipotong dalam ukuran 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) meter (diperun).
d. batang, cabang, dan ranting yang telah dipotong dikumpulkan mengikuti jalur rumpukan, yaitu pada selang 2 (dua) jalur tanam dengan arah sejajar dengan jalur tanam tersebut.
2.3. Pengaturan Drainase
Drainase terdiri dari saluran primer, sekunder dan tersier dengan ukuran saluran :
Lebar (m)
Jenis saluran
Atas
Bawah
Kedalaman (m)
Primer
3,0 – 6,0
1,2 – 1,8
1,8 – 2,5
Sekunder
1,8 – 2,5
0,6 – 0,9
1,2 – 1,8
Tersier
1,0 – 1,2
0,5 – 0,6
0,9 – 1,0
Saluran Primer
• saluran primer berfungsi mengalirkan air langsung ke daerah pembuangan akhir, antara lain, sungai dan/atau kanal; atau
• saluran primer dapat berupa sungai kecil alami yang dibersihkan atau berupa saluran baru; dan
• membangun benteng dan pintu air pada areal pasang surut.
Saluran Sekunder
a. Saluran sekunder bermuara ke saluran primer.
b. Saluran sekunder berfungsi menampung air dari saluran tersier dan juga sebagai batas blok.
c. Jarak antar saluran sekunder 400 (empat ratus) meter sampai dengan 500 (lima ratus) meter dengan panjang sesuai keadaan saluran.
Saluran Tersier
a. Saluran tersier bermuara ke saluran sekunder.
b. Saluran tersier berfungsi mengalirkan air ke seluruh sekunder dan menampung air dari areal tanaman.
c. Interval saluran tersier tergantung kondisi drainase di lapangan, maksimum satu saluran untuk dua baris tanaman.
11
Pembuatan saluran air dan pengelolaan tata air bertujuan untuk mengatur dan mempertahankan tinggi permukaan air tanah di areal pertanaman. Di tempat tertentu seperti pada pertemuan saluran primer dengan sungai, pertemuan saluran primer dengan sekunder perlu dibuat pintu air otomatis dan akan buka apabila permukaan air di areal pertanaman lebih tinggi, dan sebaliknya akan tutup apabila permukaan air di areal pertanaman lebih rendah. Pengaturan air pada saluran drainase disesuaikan dengan kedalaman permukaan air tanah di lapangan yang dipertahankan pada kedalaman 60 (enam puluh) sentimeter sampai dengan 80 (delapan puluh) sentimeter, untuk menjaga ketersediaan air dan menghindari lahan mudah terbakar.
2.4. Pembangunan jalan
• Pondasi jalan berasal dari tanah galian, sedangkan perataan dan pemadatan menggunakan alat berat.
• Pemadatan jalan dapat dilakukan dengan penyusunan batang kayu (gambangan) berdiameter 7 (tujuh) sentimeter sampai dengan 10 (sepuluh) sentimeter.
• Gambangan ditimbun dengan tanah mineral setebal 20 (dua puluh) sentimeter sampai dengan 30 (tiga puluh) sentimeter, kemudian diratakan dan dipadatkan.
• Alternatif teknologi pembangunan jalan di lahan gambut antara lain dengan teknologi geotekstil.
• Pembuatan jalan panen sebagai sarana angkutan buah dilakukan bersama dengan pemadatan jalur tanam.
• Alternatif lain untuk pengangkutan buah dari lapangan ke pabrik dengan membangun jaringan rel kereta mini (muntik).
2.5. Pemadatan Jalur Tanaman
• Pemadatan jalur tanaman diperlukan agar akar tanaman dapat menjangkar kuat di dalam tanah, sehingga mengurangi kecenderungan tumbuh miring atau rebah.
• Setiap jalur tanam dilakukan pemadatan dengan cara mekanis.
3. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan memerhatikan daya dukung dari lahan gambut. Apabila pengaturan tata air dilakukan dengan baik, kegiatan penanaman dapat mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. Kerapatan pohon kelapa sawit sebanyak 143 (seratus empat puluh tiga) pohon setiap hektar (jarak tanam 9 (sembilan) meter segitiga sama sisi) atau pada tingkat kerapatan lain sesuai dengan karakter panjang tajuk varietas kelapa sawit yang digunakan.
12
b. Jika jalur tanaman dipadatkan, kelapa sawit ditanam dengan ukuran lubang tanam 60 cm x 60 cm x 60 cm.
c. Jika jalur tidak dipadatkan, kelapa sawit ditanam dengan sistem lubang dalam lubang (hole in hole planting) dengan ukuran lubang luar 100 cm x 100 cm x 60 cm dan lubang dalam 60 cm x 60 cm x 60 cm. Alternatif lain untuk pemadatan dapat dilakukan dengan pembuatan lubang tanam menggunakan puncher.
d. Tunggul kayu yang terletak tepat di lubang tanaman dibongkar, jika tunggul tidak dapat dibongkar, lubang tanam dapat digeser searah dengan baris tanaman.
e. Pupuk dasar yang digunakan di lubang tanaman dapat berupa 20 g CuSO4, 20 g ZnSO4, 20 g FeSO4, 500 g RP, 250 g Kapur Pertanian (Kaptan) atau dolomit.
4. Pemeliharaan dan konservasi
Pemeliharaan dan konservasi dilakukan untuk mempertahankan permukaan air tanah pada kedalaman tertentu dari permukaan tanah sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan kelestarian fungsi lahan gambut.
Lapisan bahan gambut harus selalu berada di bawah permukaan air karena gambut mudah mengkerut. Atas dasar hal dimaksud secara umum permukaan air tanah harus dipertahankan pada kedalaman antara 60 (enam puluh) sentimeter sampai dengan 80 (delapan puluh) sentimeter dari permukaan tanah. Pengaturan kedalaman air juga bermanfaat untuk memperlambat pelapukan gambut sehingga mengurangi laju penurunan permukaan gambut sekaligus memberi zona aerob untuk perkembangan perakaran kelapa sawit. Untuk dapat mempertahankan muka air tersebut dan menghindari tidak teroksidasinya lapisan pirit (kedalaman air tanah tidak menjangkau lapisan pirit), maka saluran drainase harus selalu dipenuhi dengan air pada kedalaman yang diinginkan dari permukaan tanah.
IV. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
1. Pembinaan
Pembinaan dilakukan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bentuk pembinaan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. pendidikan dan pelatihan untuk pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan gambut;
b. penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengusahaan lahan gambut; dan/atau
c. bimbingan teknis, untuk peningkatan kesadaran dan partisipasi pelaku usaha perkebunan dalam rangka pengusahaan lahan gambut berkelanjutan.
13
2. Pengawasan
Pengawasan dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengawasan dilakukan, antara lain terhadap:
a. pengusahaan lahan gambut, untuk menghindari kerusakan fungsi lingkungan; dan
b. penanggulangan dampak dan pemulihan fungsi lingkungan hidup yang telah dilakukan berkaitan dengan kerusakan lahan gambut.
Apabila hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian pelaksanaan pengembangan dengan ketentuan yang berlaku, Direktur Jenderal Perkebunan, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan peringatan secara tertulis kepada pelaku usaha perkebunan untuk menghentikan pelanggaran dan melakukan tindakan pencegahan dan/atau pemulihan.
Peringatan diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 3 (tiga) bulan. Apabila oleh pelaku usaha perkebunan tidak dipenuhi, gubernur atau bupati/walikota mencabut izin usahanya dan mengusulkan kepada Menteri untuk pencabutan HGU oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Menteri.
V. PENUTUP
Pedoman ini bersifat dinamis yang akan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
MENTERI PERTANIAN,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar